Friday 3 June 2011

kita (masih) harus banyak belajar

kita masih harus banyak belajar.

dua hari ini mata saya dimanjakan dengan dua buah film produksi bollywood. film yang pertama berjudul 3 idiots, yang kedua judulnya Paa. 3 idiots bercerita tentang perjuangan 3 orang pemuda yang dicap "bodoh" oleh orang-orang di lingkungan mereka, hanya karena mereka tidak mengikuti standar "pintar" yang dibuat oleh lingkungannya. film yang kedua, paa, bercerita tentang seorang anak berkebutuhan khusus, kategorinya pregoria. saya sih belum pernah denger sebelumnya apa itu pregoria. sambil menulis ini, saya googling tentang apa itu pregoria. dan ternyata pregoria itu adalah kelinan genetika yang menyebabkan orang yang mengidapnya mengalami penuaan dini pada fisiknya. mereka yang berusia 10 tahun, misalnya, bisa saja fisiknya menyerupai orang berusia 50 tahun.

mari tinggalkan pregoria, kembali ke fokus, kalimat pembuka pada catatan ini. kenapa saya bilang belajar? lihatlah kedua film India ini, dari film 3 Idiots, kita bisa belajar bagaimana seharusnya mengelola sebuah sekolah yang baik, sekolah yang ramah. ramah pada semua anak yang pada dasarnya memiliki keunikan masing-masing. caranya? dengan tidak mencap bodoh mereka yang tidak memenuhi standar pintar yang dibuat oleh sekolah atau guru. rata-rata sekolah membuat standar pintar seperti ini: nilai matematika dan ipa bagus, mampu menjawab pertanyaan sesuai buku, dan slalu mengerjakan tugas persis sama dengan yang guru ajarkan. sedangkan anak-anak yang mempunyai potensi menggambar, melukis, berolahraga, atau di bidang selain matematika dan ipa, dicap sebagai anak yang berkemampuan biasa-biasa saja. ironis ya? tapi itulah faktanya.

dari film 3 Idiots juga, sineas muda Indonesia harus belajar bagaimana membuat film yang bermutu. tidak hanya film2 yang mengejar sponsor & rating tapi isinya hanya berkutat seputar hantu dan teman-temannya.

dari film Paa juga kita bisa belajar, bahwa anak berkebutuhan khusus jangan hanya di-ekspos dari sisi kekurangannya saja, tapi harus pula dari sisi kelebihan potensi mereka yang belum tentu dimiliki oleh anak-anak yang dikatakan normal. di film ini, anak berkebutuhan khusus memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, bersekolah di sekolah umum, bergaul dengan teman-temannya yang "normal" bahkan bergaul dengan orang penting di negaranya. terlihat pula bahwa lingkungan sekolah di film ini sangat-sangat ramah terhadap kekhususannya. merinding saya nontonnya, sekaligus membayangkan kapan Indonesia punya sekolah dan lingkungan yang se-inklusif itu? sejauh ini, saya belum pernah melihat film Indonesia yang berani mengangkat tema anak berkebutuhan khusus. eh ada ding, Hujan di Bulan Juni, judulnya, film tentang anak disleksia. tapi cuma itu kan? gak ada lagi kan? padahal di Hollywood ada I Am Sam, Forrest Gump, dan Mercury Rising. di Bollywood ada My name is Khan, 3 idiots, dan Paa, dan mungkin masih ada lagi yang saya belum pernah tonton.

jangan harap ini adalah catatan dari kritikus film berpengalaman. oh bukan. saya cuma penonton film yang mencoba belajar juga dari film-film yang saya tonton. saya cuma seorang guru yang berusaha mengambil nilai-nilai yang baik yang saya harap bisa diterapkan dalam mendidik anak-anak spesial saya di sekolah :)

mari, kita belajar dari kedua film ini. belajar membuat film yang bermutu, belajar membangun sistem pendidikan yang ramah, belajar menghargai potensi anak, dan belajar menghargai perbedaan. dan semakin banyak belajar, nantinya kita akan tahu, bahwa banyak sekali hal yang (ternyata) belum kita tahu. selamat belajar :)

~jika semua tempat adalah sekolahku, maka setiap orang adalah guruku

030611


No comments:

Post a Comment